Simak, Undang-Undang Tentang Hak Asuh Anak Jika Bercerai
Simak, Undang-Undang Tentang Hak Asuh Anak Jika Bercerai. Hak asuh anak jika bercerai termasuk dalam fokus materi perceraian. Jika orang tua bercerai, lalu dengan siapa anak itu akan hidup? Bagaimana dengan kebutuhan masa depan anak-anak, terutama yang menyangkut keuangan? Beberapa dari pertanyaan ini harus dijawab. Di mana jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini kurang lebih bergantung pada persetujuan orang tua, meskipun tidak bisa dikatakan sepenuhnya dari hasil kesepakatan orang tua.
Baca juga: Sewa Kantor Bulanan Jogja Ideazone Private Office Jl. Magelang
Saat ini perceraian dianggap sebagai jalan keluar bagi rumah tangga yang tidak bisa lagi diselamatkan. Setiap pasangan yang sudah menikah tentu tidak mengharapkan perceraian sebelumnya. Namun, sebenarnya, perceraian bukanlah hal yang biasa. Ini dibuktikan dengan tingginya tingkat perceraian di Indonesia setiap tahun.
Salah satu dampak perceraian terjadi berkaitan dengan anak-anak. Apalagi jika pernikahan telah dikaruniai seorang bayi. Seperti disebutkan sebelumnya, hak asuh anak membutuhkan persetujuan. Untuk alasan ini, tidak jarang tentang hak asuh atas hal ini sering memunculkan perdebatan yang sulit antara orang tua anak-anak. Alasannya tidak jarang masing-masing pihak menginginkan hak yang sama agar dapat merawat, mengasuh, dan hidup bersama bayi tercinta. Di sinilah peran hakim diperlukan saat memutuskan hak asuh anak jika bercerai.
Baca juga: 3 Cara Mudah Untuk Mengambil Akta Cerai Di Pengadilan
Penahanan Anak dalam Hukum
Seorang hakim akan mengetuk palu di pengadilan dan memberikan keputusan akhir kepada siapa hak asuh anak akan diberikan. Ada peluang yang sama, antara ibu atau ayah. Ini karena keputusan hakim tidak segera diberikan tanpa pertimbangan. Namun berdasarkan beberapa pertimbangan. Salah satunya adalah hak asuh anak dalam hukum.
Adapun Hukum, hak asuh anak dalam hal perceraian orang tua telah dijelaskan dalam beberapa artikel. Diantaranya adalah pasal 45 ayat (2), pasal 98, dan pasal 105. Dengan adanya dasar hukum dan undang-undang yang mengatur, anak-anak diharapkan tetap makmur dan tumbuh sebagaimana mestinya meskipun orang tua mereka berpisah.
Jika Anda perlu mengambil keputusan yang tepat, seorang hakim membutuhkan pendekatan. Misalnya melalui aspek psikologis dan sosial. Pendekatan psikologis ditujukan untuk menilai pemahaman tentang kondisi anak tidak hanya dalam hal usia tetapi kualitas kematangan psikologis anak. Jika anak dianggap matang secara psikologis, maka anak tersebut dikatakan mumayyiz. Harap dicatat, pertimbangan psikologis juga berlaku untuk orang tua yang memiliki hak untuk merawat anak-anak.
Ini penting karena tidak sedikit kasus orangtua bermasalah, baik dengan diri mereka sendiri atau dengan lingkungan dan anak-anak tidak terkecuali. Ikatan emosional antara orang tua dan anak-anak juga menjadi pertimbangan. Jika ternyata kondisi orang tua tidak baik, jelas tidak mampu merawat anak. Seseorang dapat benar-benar memperburuk kondisi seorang anak yang cukup terguncang setelah perceraian orang tua.
Aspek Pertimbangan Lainnya
Aspek psikologis bukan satu-satunya hal yang dapat mematahkan hak asuh anak jika bercerai. Tidak adil bagi seorang hakim untuk hanya mempertimbangkan psikologi anak. Keadilan hukum juga harus memprioritaskan hak-hak anak dan kemudian menilai bagaimana orang tua dapat berperan sebagai karakter dan memberikan teladan. Meskipun sudah jelas dinyatakan dalam pasal 105 (a) KHI bahwa pengasuhan anak yang belum mumayyiz (di bawah 12 tahun) adalah hak ibu. Tetapi hakim bisa memiliki keleluasaan.
Kebijaksanaan adalah kebebasan untuk mengambil keputusan sebelum menghadapi suatu situasi. Ini berarti bahwa masih mungkin untuk mengambil hak asuh anak dari ibu jika selama proses persidangan sejumlah fakta ditemukan. Fakta-fakta yang dipermasalahkan termasuk ibunya pemabuk, penjudi, risiko meninggalkan anak, dan bertangan ringan. Dalam kondisi seperti itu, hak asuh anak jika bercerai akan diserahkan kepada ayah.